SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN KALIGRAFI ARAB
Secara bahasa
perkataan kaligrafi merupakan penyederhanaan dari “calligraphy”
(kosa kata bahasa Inggris). Kata ini diadopsi dari bahasa Yunani, yang diambil
dari kata kallos berarti beauty (indah) dan graphein
: to write (menulis) berarti tulisan atau aksara, yang berarti:
tulisan yang indah atau seni tulisan indah. Dalam bahasa Arab kaligrafi disebut
khat yang berarti garis.
Secara istilah dapat
diungkapkan, “calligraphy is handwriting as an art, to some calligraphy
will mean formal penmanship, distinguish from writing only by its exellents
quality” (kaligrafi adalah tulisan tangan sebagai karya seni,
dalam beberapa hal yang dimaksud kaligrafi adalah tulisan formal yang indah,
perbedaannya dengan tulisan biasa adalah kualitas keindahannya).
Kaligrafi Menurut Para Ahli :
· Hakim
al-Rum mengatakan : Kaligrafi adalah geometri spiritual dan diekspresikan
dengan perangkat fisik.
· Hakim
al-Arab menuturkan kaligrafi adalah pokok dalam jiwa dan diekspresikan dengan
indra indrawi.
· Yaqut
al-Musta’shimi bahwa kaligrafi adalah geometri rohaniah yang dilahirkan dengan
alat-alat jasmaniah.
· Ubaidillah
ibn Abbas mengistilahkan kaligrafi dengan lisan al-yadd atau lidahnya tangan.
· Syaikh
Syamsuddin al-Akfani sebagai berikut: kaligrafi adalah suatu ilmu yang
memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya, dan tata cara
merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun atau apa yang ditulis diatas
garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu
ditulis, menggubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk
menggubahnya.
· Manja
Mohd Ludin dan Ahmad Suhaimi J. Mohd Nor mengungkapkan pengertian kaligrafi itu
suatu coretan atau tulisan yang membawa maksud tulisan yang indah, dalam arti
kata tulisan tersebut mempunyai kehalusan dan kesenian.
· Syeikh
Syam al-Din al-Afghani menyatakan:Kaligrafi adalah suatu ilmu yang
memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya dan tata cara
merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun di atas garis dan bagaimana
cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis, mengubah ejaan
yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana menggubahnya.
· Muhammad
Thahir ibn ‘Abd al-Qadir al-Kurdi dalam karyanya Tarikh al-Khat al-‘Arabi wa
Adabihi, pernah mengumpulkan sekitar tujuh macam pengertian kaligrafi atau
khath, dan kemudian menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kaligrafi adalah
suatu kepandaian untuk mengatur gerakan ujung jari dengan memanfaatkan pena
dalam tata cara tertentu. Adapun yang dimaksud dengan pena di sini adalah pusat
gerakan-gerakan ujung jari, sementara tata cara tertentu menunjukkan pada semua
jenis kaidah penulisan.
Menurut Perkataan Sahabat Rosulullah
SAW yaitu Ali Bin Abi Thalib Karromallohu Wajhah berkata :
· Sepantasnya
kalian menulis dngan baik, karena tulisan yang baik adalah pintu rizki
· Khot
atau tulisan indah itu selalu akan terkenang walaupun setelah ditinggalkan oleh
penulisnya bahkan sampai meninggal dunia.
· Khot
atau tulisan indah itu adalah perhiasn yang tidak ternilai harganya
· Tulisan
indah itu selalu tersembunyi dalam pengajaran sang guru, tegak dan terus
menerus pengajarannya dalam menulis.
· Khot
atau tulisan indah itu merupakan kepandaian hati yang ditampakkan oleh
alat-alat jasmaniah, jika kalian memperbaiki penamu berarti engkau memperbaiki
tulisannmu. Dan jika kalian mengabaikan penamu berarti kalian mengabaikan
tulisanmu.
· Khot
atau tulisan indah merupakan ucapan atau bahasa tangan dan kebanggaan
yang tidak nampak dan dapat menajamkan akal pikiran, dan menjadi inspirasi
pikirang dan juga senjata ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk memindahkan
informasi, dan sebagai pemelihara peninggalan-peninggalan sejarah .
· Memang
sesungguhnya gambarannya tulisan indah itu tidak nampak akan tetapi artinya
sangat jelas, barangkali tulisan itu tidak tampak oleh pandangan atau mata akan
tetapi dia memenuhi khazanah keilmuan.
Kaligrafi melahirkan
suatu ilmu tersendiri tentang tata cara menulis, meneliti tentang tanda-tanda
bahasa yang bisa dikomunikasikan, yang dibuat secara propesional dan harmonis
yang dapat dilihat secara kasat mata dan diakui sebagaimana susunan yang dihasilkan
lewat kerja kesenian. Di samping itu ada juga yang mengungkapkan bahwa
kaligrafi itu sebagai suatu kepandaian untuk mengatur gerakan ujung jari dengan
memanfaatkan pena atau kalam dengan metode atau tata cara tertentu.
Meskipun
bermacam-macam pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, namun pada dasarnya
tujuan ungkapan tersebut mengarah kepada arti tulisan yang indah. Dapat juga
dikatakan suatu tulisan yang dirangkai dengan nilai estetika yang bersumber
pada pikiran atau ide dan diwujudkan melalui benda materi (alat tulis) yang
diikat oleh aturan dan tata cara tertentu. Jadi seni kaligrafi itu sebuah
kepandaian menulis tulisan indah dengan mengikuti metode-metode tertentu untuk
mempelajarinya.
Pemakaian istilah
kaligrafi ini sering juga disebut orang kepada dua istilah. Ada yang menyebut
dengan kaligrafi Arab dan ada juga yang menyebutnya dengan kaligrafi Islam.
Mengenai istilah kaligrafi Arab
Istilah tersebut sama
benarnya, sebab apabila ditinjau dari sejarah, seni kaligrafi itu memang lahir
dari ide “menggambar” atau apa lukisan yang dipahat atau dicoretkan dalam
benda-benda tertentu, seperti daun-daun, kulit kayu, tanah dan batu. Akar dari
tulisan Arab itu dari Mesir (Kan’an Semit atau Turnesia), dari tulisan
Hierogrhaph.
Lalu tulisan tersebut
terpecah menjadi khath Feniqi (Funisia), dengan cabang-cabang (Arami): Nabati
di Hirah atau Hurun dan Sataranjih-Suryani di Irak dan Musnad: Safawi, Samudi,
Lihyani, (Utara Jazirah Arabia) dan Humeri; selatannya. Sedangkan Kamil al-Baba
mengatakan bahwa pendapat yang paling dipercaya kaligrafi Arab itu diadopsi
dari tulisan suku Nabati, ras Arab yang menempatkan wilayah Utara jazirah
Arabia, di negeri Yordan dengan ibu kota Puetra.
Hal ini berdasarkan
bukti-bukti nyata arkeologi (Dinas Purbakala) yang pernah mengadakan penelitian
tentang pertumbuhan tulisan. Dalam perkembangan tulisan ini, tulisan musnad
yang disebar luaskan oleh suku Maniyah (Minneni) di Yaman yang berpindah ke
Arabia Utara. Kemudian dari Musnad ini lalu pindah ke Nabati sampai kedatangan
Islam. Untung orang Nabatea meninggalkan sejumlah inskripsi yang tersebar di
daerah yang mewakili tahap peralihan yang maju menuju perkembangan huruf Arab.
Bangsa Arab diakui
sebagai bangsa yang sangat ahli dalam bidang sastra, dengan sederet nama-nama
sastrawan beken pada masanya, namun dalam hal tradisi tulis-menulis (baca:
khat) masih tertinggal jauh bila dibandingkan beberapa bangsa di belahan dunia
lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius.
Sebut saja misalnya bangsa Mesir dengan tulisan Hierogliph,
bangsa India dengan Devanagari,
bangsa Jepang dengan aksara Kaminomoji,
bangsa Indian dengan Azteka,
bangsa Assiria dengan Fonogram/Tulisan
Paku,
dan pelbagai negeri lain sudah terlebih dahulu memiliki jenis huruf/aksara.
Keadaan ini dapat
dipahami mengingat Bangsa Arab adalah bangsa yang hidupnya nomaden
(berpindah-pindah) yang tidak mementingkan keberadaan sebuah tulisan, sehingga
tradisi lisan (komuniksai dari mulut kemulut) lebih mereka sukai, bahkan
beberapa diantara mereka tampak anti huruf. Tulisan baru dikenal pemakaiannya
pada masa menjelang kedatangan Islam dengan ditandai pemajangan al-Mu’alaqat
(syair-syair masterpiece yang ditempel di dinding Ka’bah).
Pembentukan huruf
abjad Arab sehingga menjadi dikenal pada masa-masa awal Islam memakan waktu
berabad-abad. Inskripsi Arab Utara bertarikh 250 M, 328 M dan 512 M menunjukkan
kenyataan tersebut. Dari inskripsi-inskripsi yang ada, dapat ditelusuri bahwa
huruf Arab berasal dari huruf Nabati yaitu huruf orang-orang Arab Utara yang
masih dalam rumpun Smith yang terutama hanya menampilkan huruf-huruf mati. Dari
masyarakat Arab Utara yang mendiami Hirah dan Anbar tulisan tersebut berkembang
pemakaiannya ke wilayah-wilayah selatan Jazirah Arab.
2.
Perkembangan
Kaligrafi Periode Bani Umayyah (661-750 M)
Beberapa ragam
kaligrafi awalnya dikembangkan berdasarkan nama kota tempat dikembangkannya
tulisan. Dari berbagai karakter tulisan hanya ada tiga gaya utama yang
berhubungan dengan tulisan yang dikenal di Makkah dan Madinah yaitu Mudawwar
(bundar), Mutsallats
(segitiga), dan Ti’im
(kembar yang tersusun dari segitiga dan bundar). Dari tiga inipun hanya dua
yang diutamakan yaitu gaya kursif dan mudah ditulis yang disebut gaya Muqawwar
berciri lembut, lentur dan gaya Mabsut berciri kaku dan terdiri
goresan-goresan tebal (rectilinear). Dua gaya inipun menyebabkan timbulnya
pembentukan sejumlah gaya lain lagi diantaranya Mail
(miring), Masyq
(membesar) dan Naskh
(inskriptif).
Gaya Masyq
dan Naskh
terus berkembang, sedangkan Mail
lambat laun ditinggalkan karena kalah oleh perkembangan Kufi.
Perkembangan Kufi pun melahirkan beberapa variasi baik pada garis vertikal
maupun horizontalnya, baik menyangkut huruf-huruf maupun hiasan ornamennya.
Muncullah gaya Kufi
Murabba’ (lurus-lurus), Muwarraq
(berdekorasi daun), Mudhaffar
(dianyam), Mutarabith
Mu’aqqad (terlilit berkaitan) dan lainnya. Demikian
pula gaya kursif mengalami perkembangan luar biasa bahkan mengalahkan gaya
Kufi, baik dalam hal keragaman gaya baru maupun penggunannya, dalam hal ini
penyalinan al-Qur’an, kitab-kitab agama, surat-menyurat dan lainnya.
Diantara kaligrafer
Bani Umayyah yang termasyhur mengembangkan tulisan kursif adalah Qutbah
al-Muharrir. Ia menemukan empat tulisan yaitu Thumar, Jalil, Nisf, dan Tsuluts.
Keempat tulisan ini saling melengkapi antara satu gaya dengan gaya lain
sehingga menjadi lebih sempurna. Tulisan Thumar yang berciri tegak lurus
ditulis dengan pena besar pada tumar-tumar (lembaran penuh, gulungan kulit atau
kertas) yang tidak terpotong. Tulisan ini digunakan untuk komunikasi tertulis
para khalifah kepada amir-amir dan penulisan dokumen resmi istana. Sedangkan
tulisan Jalil yang berciri miring digunakan oleh masyarakat luas.
Sejarah perkembangan
periode ini tidak begitu banyak terungkap oleh karena khilafah pelanjutnya
yaitu Bani Abbasiyah telah menghancurkan sebagian besar
peninggalan-peninggalannya demi kepentingan politis. Hanya ada beberapa contoh
tulisan yang tersisa seperti prasasti pembangunan Dam yang dibangun Mu’awiyah,
tulisan di Qubbah Ash-Shakhrah, inskripsi tulisan Kufi pada sebuah kolam yang
dibangun Khalifah Hisyam dan lain-lain.
3.
Perkembangan
Kaligrafi Periode Bani Abbasiyah (750-1258 M)
Gaya dan teknik
menulis kaligrafi semakin berkembang terlebih pada periode ini semakin banyak
kaligrafer yang lahir, diantaranya Ad-Dahhak ibn ‘Ajlan yang hidup pada masa
Khalifah Abu Abbas As-Shaffah (750-754 M), dan Ishaq ibn Muhammad pada masa
Khalifah al-Manshur (754-775 M) dan al-Mahdi (775-786 M). Ishaq memberi
kontribusi yang besar bagi pengembangan tulisan Tsuluts dan Tsulutsain dan
mempopulerkan pemakaiannya. Kemudian kaligrafer lain yaitu Abu Yusuf as-Sijzi
yang belajar Jalil kepada Ishaq. Yusuf berhasil menciptakan huruf yang lebih
halus dari sebelumnya.
Adapun kaligrafer
periode Bani Abbasiyah yang tercatat sebagai nama besar adalah Ibnu Muqlah yang
pada masa mudanya belajar kaligrafi kepada Al-Ahwal al-Muharrir. Ibnu Muqlah
berjasa besar bagi pengembangan tulisan kursif karena penemuannya yang
spektakuler tentang rumus-rumus geometrikal pada kaligrafi yang terdiri dari
tiga unsur kesatuan baku dalam pembuatan huruf yang ia tawarkan yaitu : titik, huruf alif,
dan lingkaran.
Menurutnya setiap huruf harus dibuat berdasarkan ketentuan ini dan disebut al-Khat al-Mansub (tulisan
yang berstandar).
Ia juga mempelopori
pemakaian enam macam tulisan pokok (al-Aqlam as-Sittah) yaitu Tsuluts,
Naskhi, Muhaqqaq, Raihani, Riqa’, dan Tauqi’ yang merupakan tulisan kursif.
Tulisan Naskhi dan Tsuluts menjadi populer dipakai karena usaha Ibnu Muqlah
yang akhirnya bisa menggeser dominasi khat Kufi.
Usaha Ibnu Muqlah pun
dilanjutkan oleh murid-muridnya yang terkenal diantaranya Muhammad ibn
As-Simsimani dan Muhammad ibn Asad. Dari dua muridnya ini kemudian lahir
kaligrafer bernama Ibnu Bawwab. Ibnu Bawwab mengembangkan lagi rumus yang sudah
dirintis oleh Ibnu Muqlah yang dikenal dengan Al-Mansub Al-Faiq (huruf bersandar
yang indah). Ia mempunyai perhatian besar terhadap perbaikan khat Naskhi dan
Muhaqqaq secara radikal. Namun karya-karyanya hanya sedikit yang tersisa hingga
sekarang yaitu sebuah al-Qur’an dan fragmen duniawi saja.
Pada masa berikutnya
muncul Yaqut al-Musta’simi yang memperkenalkan metode baru dalam penulisan
kaligrafi secara lebih lembut dan halus lagi terhadap enam gaya pokok yang
masyhur itu. Yaqut adalah kaligrafer besar di masa akhir Daulah Abbasiyah hingga
runtuhnya dinasti ini pada tahun 1258 M karena serbuan tentara Mongol.
Pemakaian kaligrafi
pada masa Daulah Abbasiyah menunjukkan keberagaman yang sangat nyata, jauh bila
dibandingkan dengan masa Umayyah. Para kaligrafer Daulah Abbasiyah sangat
ambisius menggali penemuan-penemuan baru atau mendeformasi corak-corak yang
tengah berkembang. Karya-karya kaligrafi lebih dominan dipakai sebagai ornamen
dan arsitektur oleh Bani Abbasiyah daripada Bani Umayyah yang hanya mendominasi
unsur ornamen floral dan geometrik yang mendapat pengaruh kebudayaan Hellenisme
dan Sasania.
Kaligrafi merupakan
salah satu jenis karya seni rupa yang menekankan keindahan yang terdapat pada
bentuk-bentuk huruf yang telah dimodifikasi atau digayakan sehingga mempunyai
nilai estetika. Keindahan bentuk ini mempunyai pengertian yang umum, artinya
bentuk huruf tersebut tidak hanya berlaku untuk huruf-huruf tertentu atau asal
dari jenis huruf tertentu. Salah satu contoh, misalnya kaligrafi tidak hanya
berlaku untuk bentuk atau jenis huruf Arab (Hijaiyyah) saja, tetapi dapat juga
berlaku untuk jenis-jenis huruf yang lain.
Sehingga kata
kaligrafi berlaku untuk umum, keindahan hurufnya bersifat umum, universal dan
global. Kaligrafi tidak hanya untuk mengungkapkan secara visual ayat atau surat-surat
yang ada di Al Quran dan Al Hadits saja, tetapi juga bisa untuk mengungkapkan
kalimat-kalimat sastra yang berbentuk huruf Latin, huruf China, huruf Jepang,
huruf India, huruf Sansekerta maupun huruf Jawa.
Pengertian masyarakat
umum memang mempunyai pandangan dan pengertian yang kurang tepat, yang
mengartikan bahwa kaligrafi adalah modifikasi keindahan pada bentuk-bentuk
huruf Arab saja. Walaupun hal itu juga tidak dapat dipungkiri lagi karena yang
berkembang pesat di wilayah kita (Indonesia) adalah banyaknya kreasi-kreasi
kaligrafi yang ada merupakan bentuk keindahan huruf Arab.
Hal ini memang sangat
erat kaitannya dengan mayoritas seniman kaligrafi yang ada di Indonesia
kebanyakan hanya mengembangkan kaligrafi Arabic. Memang tidak dapat dipungkiri
seniman berkarya juga terikat dengan penikmat seni yang ada di suatu wilayah.
Penikmat kaligrafi Indonesia karena kebanyakan kaum muslimin, senimanpun
menciptakanya disesuaikan dengan keadaan tersebut. Kalau kita mau melihat lebih
luas, sebenarnya banyak juga ditemukan keindahan bentuk huruf ini yang
berbentuk huruf selain huruf Arab.
Keindahan bentuk
huruf Jawa, sebelum pada tahun 70 an masih sering ditemukan di wilayah Jawa. Di
pedesaan banyak pula anak-anak muda dan orang dewasa berkarya memodifikasi/menggayakan
huruf Jawa sedemikian indahnya pada era sebelum tahun 70 an. Contoh yang pernah
penulis lihat adalah di daerah Kunden Langenharjo Kendal pada masa lalu, yang
sekarang sudah mulai jarang ditemukan lagi atau mungkin malah sudah tak ada
lagi karena generasi sekarang banyak yang tidak mengenal huruf Jawa.
Tapi, Alhamdulillah
pemerintah sekarang sudah mulai menyadari pentingnya bahasa daerah, dengan
memasukkan pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum di SD, SMP maupun SMA. Hal
itu hanyalah salah satu contoh saja bahwa kaligrafi bukanlah khusus untuk huruf
Arab. Dalam perkembangannya kaligrafi dapat dipisahkan menjadi beberapa jenis
kaligrafi. Kaligrafi tersebut antara lain, Kaligrafi Tradisional, Kaligrafi
Klasik, Kaligrafi Modern, Kaligrafi Ekspresif dan Kaligrafi Kontemporer.
Semua jenis
kaligrafi tersebut mempunyai kelebihan dan keunikan tersendiri tergantung dari
jenisnya. Kekhasan yang sama pada seni kaligrafi adalah kreatifitas seniman di
dalam memvisualisasikan bentuk karya ciptanya.
Ada yang mempunyai
kecenderungan kretifitas pada objek utamanya saja, ada pula hurufnya masih
manual tetapi dipadukan latar belakangnya yang dimodifikasi sedemikian rupa,
sehingga kreatifitasnya lebih diutamakan pada backgroundnya, adapula yang
keduanya dipadukan artinya baik huruf maupun latar belakangnya digayakan
sedemikian rupa, sehingga daya cipta bentuk kaligrafi betul-betul
dimaksimalkan.
Semuanya memang
tergantung dari pencipta karya tersebut, lebih fokus dan lebih enjoy yang mana
atau lebih cocok yang mana. Atau mungkin tergantung yang diinginkan oleh nilai
pasar (tergantung dari nilai fungsinya). Fungsi kaligrafi tersebut sebagai seni
murni (fine art) atau seni terapan (applied art).
C.
Perkembangan
Kaligrafi
Proses menuju
kesempurnaan perkembangan kaligrafi Arab sebelum Islam menuju kesempurnaan pada
abad ke-3 M, diperkirakan seabad sebelum kedatangan Islam orang Hijaz sudah ada
yang mengenal tulisan. Hal ini terjadi karena ada hubungan dagang mereka dengan
Arabia Utara dengan Arabia Selatan yang sudah mengenal huruf seperti suku
Hunain di Yaman.
Mereka ini melakukan
perjalanan sambil belajar tulis baca di Syria begitu juga yang lainnya di Ambar
Irak. Menurut catatan sejarah di Hijaz hanya ada beberapa orang yang pandai
tulis baca yang terdiri dari orang Quraish dan orang Madinah khususnya orang
Yahudi.Kemudian pada abad ke-7 M, terjadi sedikit perkembangan penulisan di
kalangan masyarakat Jazirah Arabia.
Tulisan sederhana
(belum sempurna) telah ada, seperti yang dibuktikan oleh temuan arkeologis
(prasasti pada batu, pilar dan seterusnya) di Jazirah Arab. Selain itu
sisa-sisa paleorafis (tulisan pada material seperti papyrus dan kertas kulit)
dapat juga sebagai tanda untuk membuktikan bahwa orang Arab pada zaman itu
sudah mempunyai pengetahuan menulis.
Keterlambatan
perkembangan ini karena bangsa Arab ini dikenal sebagai masyarakat yang suka
berpindah-pindah (nomaden). Mereka tidak terbiasa menulis peristiwa. Jadi
sangatlah sulit untuk mencari data tertulis atau prasasti yang membuktikan peta
perjalanan sejarah sebuah kemajuan di Jazirah Arab.
Mereka dikenal
sebagai bangsa yang kuat daya hafalnya. Jadi tidak diperlukan tulisan untuk
menyampaikannya, karena menurut pandangan mereka orang yang menulis itu adalah
orang yang mempunyai hafalan yang kurang kuat.Yang menjadi kebanggaan bagi
bangsa Arab pada waktu itu adalah syair. Syair merupakan penalaran paling
berharga dalam mengungkapkan makna-makna perasaan hati dan gejolak pikiran. Hal
ini karena kehidupan mereka terbiasa di alam bebas, padang pasir yang
membentang luas dan terbiasa di alam bebas, padang pasir yang membentang luas
dan terbebas dari pengaruh budaya asing, yang menjadikan mereka leluasa dan
terlatih untuk menghayalkan apa saja yang mereka alami dalam kehidupan.
Kemudian syair-syair
tersebut mereka hafal agar mudah disampaikan kapan saja
dikehendakinya.Kebanggaan mereka terhadap syair memang luar biasa. Mereka akan
merasa lebih bangga apabila salah seorang dari anggota keluarga atau kebilahnya
ada seorang penyair dibanding mempunyai seorang panglima perang.
Apabila syair
atau pantun itu mendapat nilai paling bagus, maka syair tersebut langsung
ditempelkan di dinding ka’bah, sebagai tanda suatu penghormatan yang luar
biasa. Menurut literatur Arab, hanya pernah ada tujuh jenis syair pujaan yang
disebut al-Mu’allaqat (gantungan) sebagai hasil karya seni sastra maha paling
indah dan paling sempurna yang mempunyai nama terhormat, karena ditulis dengan
tinta emas.
Dengan ini dapat
disimpulkan bahwa kegiatan tulis menulis itu sudah ada, tetapi masih sangat
langka, kecuali saat-saat dibutuhkan.Itulah sebabnya pada bangsa Arab sebelum
Islam datang seni kaligrafi itu berkembang, perjalanannya agak tersendat, lebih
dari seribu tahun tidak melahirkan keanekaan, karena mereka tidak membudayakan
menulis. Apabila ada syair yang pantas untuk dibanggakan maka barulah orang
Arab tersebut menulisnya dan menggantungkannya pada dinding Ka’bah. Memang pada
saat itu juga tidak disebutkan mereka menggunakan jenis khath apa dalam menulis
tersebut.
Tetapi dapatlah
dipastikan bahwa kaligrafi Islam tersebut berasal dari tulisan Arab karena
tulisannya menggunakan tulisan Arab. Dan tulisan-tulisan yang berkembang di
daerah Arab sebelum Islam datang dapatlah dikategorikan sebagai kaligrafi
Arab.Setelah Islam datang tulisan Arab ini mulai berkembang, karena mereka juga
dianjurkan menulis dan membaca.
Mereka sudah mulai
menulis tentang ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits.Apalagi yang mereka tulis itu
adalah wahyu allah. Setiap ayat yang telah diturunkan Allah dan mereka terima
dari Rasulullah lalu mereka tulis agar lebih mudah mengingatnya. Mereka yang
menulis ini biasa sudah ada ditunjuk oleh Zaid bin Tsabit. Bukan itu saja yang
menunjang mereke untuk menulis, ternyata ayat yang pertama kali diturunkan itu
adalah ayat mengenai perintah untuk membaca dan menulis, sebagaimana yang
tertulis dalam surat al-Alaq ayat 1-5
1)
Bacalah
dengan nama Tuhan mu yang menciptakan
2)
Menciptakan
manusia dari segumpal darah
3)
Bacalah…Dan
Tuhan mu Maha Pemurah
4)
Yang
mengajarkan manusia menulis dengan kalam
5)
Mengajarkan
manusia apa yang tidak diketahuinya
Dari ayat tersebut
sangat jelas bahwa membaca dan menulis itu memang dianjurkan. Semenjak turunnya
al-Quran merupakan perkembangan awal kaligrafi ini dimulai. Keperluan untuk
merekam al-Quran memaksa mereka untuk memperbaharui tulisan mereka dan
memperindahnya sehingga ia pantas menjadi wahyu Allah. Kemudian ayat tersebut
disebarkan oleh Rasulullah secara lisan dan kemudian dihafal oleh para hafiz
untuk dapat dibaca dalam hati.
Tetapi setelah Nabi
wafat tahun 633 M, sejumlah hafiz tersebut banyak yang gugur dalam
peperangan.Umar bin Khattab memperingatkan hal tersebut kepada Abu Bakar
sebagai khalifah pada masa itu . Pada waktu itu Abu Bakar masih ragu, sebab hal
ini belum pernah dilakukan pada masa Rasul. Setelah didesak oleh Umar karena
banyak pula terdapat perbedaan dialek bacaan tentang ayat al-Quran ini, lalu
Abu Bakar membentuk sebuah panitia dalam penulisan ini yang dipimpin oleh Zaid
bin Tsabit yang merupakan juru tulis Nabi sebelum Nabi wafat.
Zaid bin Tsabit
menyusun dan mengumpulkan wahyu ke dalam bentuk mushaf. Penyusunan ini baru
terlaksana setelah masa kekhalifahan Usman bin Affan pada tahun 651 M.
Penyusunan yang disucikan ini kemudian disalin ke dalam empat atau lima dalam
bentuk edisi yang serupa, kemudian dikirim ke wilayah-wilayah Islam yang
penting untuk digunakan sebagai naskah yang penting sebagai kitab buku.
Dari sanalah dimulai
semua salinan al-Quran dibuat, mula-mula dalam tulisan Mekah dan Madinah, yang
merupakan ragam setempat tulisan Jazm, kemudian dalam tulisan Kufah dan
selanjutnya dalam sebagian besar ragam tulisan Arab yang berkembang di
negeri-negeri muslim.
Selain dari adanya
kaitan dengan al-Quran, perkembangan seni kaligrafi ini berkembang dengan pesat
juga disebabkan oleh beberapa factor lainnya, sehingga dapat merata di seluruh
dunia Islam diantaranya:
1)
Karena
pengaruh ekspansi kekuasaan Islam, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Islam telah
meluas sampai keluar jazirah Arab. Dengan penyebaran tersebut terjadilah
urbanisasi besar-besaran ke wilayah baru dan pertemuan budaya antara Islam dan
wilayah taklukan serta adanya proses Arabisasi pada wilayah tersebut.
2)
Adanya
penamaan nama-nama raja dan kaum elit social. Dalam catatan sejarah bahwa gaya
tulisan Tumar (lembaran halus daun pohon Tumar), diciptakan atas perintah
langsung dari khalifah Muawiyah (40H/661M-60H/680M). Tulisan ini kemudian
menjadi tulisan resmi pada pemerintahan Daulah Muawiyyah.
Ketika pemerintahan
Muawiyah kaligrafi ini mulai berkembang, orang terpicu untuk mempelajari
tulisan Arab karena adanya system Arabisasi yang diterapkan oleh pemerintahan
Bani Umayyah. Bahasa Arab itu diberlakukan bukan saja khusus untuk bangsa Arab,
tetapi pada setiap orang Islam meskipun dia bukan orang Arab diharuskan
menggunakan bahasa Arab. Dengan adanya sistem arabisasi menjadikan bentuk
tulisan Arab semakin berkembang, sehingga muncul bermacam-macam model tulisan
Arab yang baru.
Setelah masa
pemerintahan Abbasiyah penulisan kaligrafi ini sudah mulai membudaya. Apalagi
pada masa pemerintahan al-Makmum yang sangat menyukai kaligrafi. Pada masa ini
juga sudah dimulai penterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab. Akhirnya
penulisan Arab semakin berkembang, sehingga pada masa ini lahirlah berbagai
tokoh kaligrafi yang dikenal.
Ahli kaligrafi yang
terbesar pada zaman Mamluk ini adalah Muhammad Ibnu al-Walid, yang meninggalkan
salinan al-Quran yang unik dalam tulisan sulus yang telah disalin ulang pada
tahun 1304 M. Untuk seorang pejabat tinggi Baybar, yang kemudian menjadi Sultan
Baybar (1308-09). Hal tersebut membuktikan bahwa kemampuan dalam seni kaligrafi
dapat menambah prestasi seseorang untuk mendapatkan jabatan.
Ilham Khoiri
mengatakan bahwa ada semacam motivasi normatif al-Qur’an yang mendorong
kemajuan perkembangan seni kaligrafi ini. Hal ini dapat dibagi kepada empat
wujud yaitu adanya perintah untuk belajar menulis al-Quran sebagai al-Kitab dan
pengertiannya sebagai maqru, tambahan lagi adanya perintah untuk menuntut ilmu
serta larangan menyembah atau memuja patung dan berhala. Tambahan lagi ada
hadits nabi yang menyatakan bahwa menulis ayat al-Quran dengan indah itu akan
mendapat pahala. Sebagaimana yang dinyatakan oleh:
”Abu Ashim telah
mengabarkan kepada kami dan kemudian dia mengabarkan kepadaku, dari Abdul Malik
bin Abdullah bin Abu Sofyan. Dari ibunya Amru bin Abu Sofyan. Sesungguhnya dia
mendengar dari Umar bin Khatab bahwasanya Rasulullah bersabda: Kukuhkanlah ilmu
itu dengan tulisan”
Factor tersebut yang
menjadi pemicu para kuttab untuk menulis al-Quran dengan indah. Secara tidak
langsung mereka yang menulis ayat al-Quran dengan indah berarti mereka turut
serta mengagungkan al-Quran dan memeliharanya dengan baik. Apabila al-Quran
ditulis dengan baik dan indah menjadikan orang senang untuk membacanya.
Akhirnya dengan
demikian keindahan tulisan tersebut menjadikan suatu motivasi untuk selalu
membaca al-Quran, bagi orang yang selalu membaca al-Quran akan mendapat pahala
di sisi Allah.Sumbangan terbesar dari kaligrafi Islam ini adalah Syaikh
Hamdullah al-Masi (w. 1502), yang dipandang sebagai pendekar kaligrafi terbesar
sepanjang dinasti Usmaniyah. Dia mengajarkan kaligrafi kepada sultan Usmaniyah
Bayazid II (1481-1520).
Sultan tersebut
sangat menghormatinya dan membayarnya mahal untuk setiap tinta yang mengalir,
sementara syaikh menulis kalimat-kalimatnya. Begitu besarnya perhatian
pemerintah terhadap kaligrafi, sehingga setiap kaligrafer itu senantiasa diberi
imbalan yang besar atas setiap karyanya.
Kaligrafernya tidak
saja terdapat dari kalangan laki-laki saja, wanita pun sudah ada yang
menggeluti dalam bidang seni kaligrafi ini. Padsyah-Khatun salah seorang
kaligrafer wanita yang berasal dari Iran berkiprah di Jerman selama empat tahun
sebelum kewafatannya tahun 1296 M menguasai kaligrafi. Dia seorang kaligrafer
yang mahir menulis kaligrafi yang dikembangkan oleh Yaqut, telah melakukan
penyalinan al-Quran. Seni kaligrafi yang berkembang setelah Islam datang ini
dapat dikatakan dengan kaligrafi Islam. Karena tulisan yang sering disebut oleh
bangsa Arab itu ayat al-Quran.
Model-model tulisan
Arab yang digunakan pun makin berkembang.Perkembangan kaligrafi Arab ini tumbuh
bersamaan dengan tumbuhnya peradaban Arab dan munculnya peradaban Islam.
Azzahawy mengemukakan bahwa perkembangan kaligrafi itu kepada dua bentuk:
1)
Khat
yang kaku, yaitu berasal dari bangsa Ibrani. Khat ini digunakan untuk menulis
catatan resmi dan surat kabar.
2)
Khat
yang mulai lentur atau elastic apabila dibandingkan dengan khat sebelumnya,
yaitu rangkaian huruf yang berkaitan satu sama lain, seperti khat naskhi. Khat
ini dipakai dalam kegiatan sehari-hari dalam bentuk berlobang, bulat dan
terbuka.
Kepandaian seni
kaligrafi ini tidak banyak dipraktekkan oleh orang-orang yang sezaman dengan
Nabi, meskipun sebagian sahabat dan keluarganya sudah ada yang pandai membaca
dan menulis. Hal ini karena pada waktu Nabi sendiri tidak pernah mempelajari
kepandaian ini. Sedangkan kecendrungan orang pada masa itu pada syair dan prosa
dengan menggunakan budaya hafalan. Jadi pada masa itu seni sastra sangat
berkembang dan semakin mendapat perhatian dan sering dijadikan kompetisi.
Kemudian setelah Nabi
wafat, barulah mereka merasakan kebutuhan untuk menulis. Karena pada masa ini
sudah banyak di antara sahabat nabi yang hafal al-Quran dalam peperangan. Lalu
Umar bin Khattab mengusulkan agar al-Quran itu dibukukan, karena kuatir
al-Quran itu akan hilang secara perlahan.
Setelah pada masa
Usman barulah berhasil al-Quran itu dibukukan. Menurut catatan sejarah jenis
khath yang pertama kali digunakan adalah khath khufi. Dalam bukunya Athlasul
Khat wa al-Kutub, Habibullah Fadzoili (1993) mengemukakan tentang gembaran
perkembangan kaligrafi Arab Perkembangan tersebut terbagi kepada tujuh periode
3)
Periode
pertumbuhan. Pada masa ini gaya kufi muncul pertama kali dengan tidak ada
menggunakan tanda baca pada huruf tersebut. Kemudian pada abad ke-7 H, lahir
pemikiran untuk menggunakan tanda baca oleh seorang ahli bahasa Abu Aswad
Ad-Duali yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya sehingga mencapai tahapan
kesempurnaan. Pada abad ke-8 H, gaya kufi ini mencapai keelokan sehingga
bertahan selama tiga ratus tahun. Bahkan pada abad ke-11 , gaya kufi ini telah
memperoleh banyak monumental.
4)
Periode
pertumbuhan dan perindahan yang dimulai sejak akhir kekhalifahan Bani Umayah
sampai pertengahan kekuasaan Abbasiyah di Bagdad. Pada masa ini muncul
modifikasi dan pembentukan gaya-gaya lain. Selain gaya kufi pada masa ini
merupakan tahapan pertumbuhan dan perindahan. Dan pada masa ini ditemukan enam
rumusan pokok (al-aqlam as-Sittah), yaitu Tsulus, Naskhi, Muhaqqaq, Raihani,
Riq’i dan Tauqi’. Selain itu pada periode ini terdapat pula sekitar dua puluh
empat gaya khat yang berkembang, bahkan mencapai dua puluh enam gaya khath.
5)
Periode
penyempurnaan dan perumusan kaidah penulisan huruf oleh Abu Ali Muhammad bin
Muqlaq, (w.329H/940) dan saudaranya, Abu Abdullah Hasan bin Muqlaq dengan
metode al-Khath al-Mansub (ukuran standar dan bentuk kaligrafi). Pada masa ini
Ibn Muqlaq sangat besar jasanya dalam membangun gaya Naskhi dan Tsulus. Di
samping itu ia juga memodifikasi sekitar empat belas gaya kaligrafi serta
menemukan du belas kaidah untuk pegangan seluruh aliran.
6)
Periode
pengembangan dari rumusan Ibnu Muqlaq ini oleh Ibn al-Bawwab (w.1022 M), yang
berhasil menemukan gaya yang lebih gemulai al-Mansub al-Faiq (pertautan yang
indah
7)
),
yaitu suatu gaya kaligrafi dari gabungan khath Naskhi dan Muhaqqaq. Dia juga
menambahkan hiasan pada tiga belas gaya kaligrafi yang menjadi eksperimennya.
8)
Periode
pengolahan khath dan pemikiran tentang metode hiasan baru dengan penyesuaian
pena bamboo, yaitu pemotongan miring pada pena tersebut oleh sang kiblatul
kuttab, Jamaluddin Yaqut al-Musta’shimi (w. 698 H/1298 M). Di samping itu
beliau juga mengolah gaya al-Aqlam as-Sittah yang masyhur pada periode kedua
dengan sentuhan kehalusan penuh estetika serta mengembalikan hokum-hukum Ibnu
Muqlaq dan Ibn al-Bawwab. Yakut ini berhasil mengembangkan gaya baru dalam
tulisan Tsulus. Pada masa ini para kaligrafer lain juga antusias menciptakan
gaya-gaya kaligrafi ini sehingga dalam periode ini mampu menghasilkan gaya
kaligrafi sampai ratusan gaya.
9)
Periode
perkembangan pada masa dinasti Mamluk di Mesir dan Dinasti Safawi di Persia.
Pada periode ini muncul tiga gaya baru yaitu ta’liq (farisi) yang disempurnakan
oleh kaligrafer Mir Ali (w.1916), dan gaya Sikhatseh (berbentuk terpecah-pecah)
oleh khattah Darwisi Abdul Majid. Pada masa ini juga muncul kaligrafer kenamaan
di Mesir yang bernama Thab-thab.
Ragam model gaya
kaligrafi yang berkembang pada periode perkembangan ini tidak berhenti sampai
di situ saja, bahkan pada masa berikutnya bermunculan para kaligrafer yang
tidak kalah hebatnya dan mampu menggores tulisan yang halus dan sarat dengan
nilai seni dan keindahan. Demikian juga di Baghdad ditemukan tiga kaligrafer
besar yaitu Musthafa Raqim, Syeikh Musa ‘Azmi (lebih dikenal dengan Hamid
al-Amidi).
Bentuk model khath
yang berkembang tersebut diciptakan oleh tokoh-tokoh kaligrafer itu sendiri.
Namun peletakan gaya kaligrafi ini tidak seluruhnya dapat diketahui dengan
jelas. Contohnya kaligrafi gaya khufi merupakan gaya kaligrafi yang tertua dan
tidak diketahui dengan jelas siapa peletak dan pencipta dari model khath ini.
Sedangkan khath
Naskhi lahir jelas diketahui siapa peletak pertama dari gaya khath ini adalah
Ibn Muqlah , karena kelahiran khath ini sudah tampak sebelum kelahiran Ibn
Muqlah, dan beliau juga yang mendewasakan jenis model dari khath ini. Demikian
juga halnya khath Diwany pencipta pertamanya Ibnu Munif di Turki (860 H). Gaya
Riq’ah diciptakan al-Mutasyar Mumtaz Bek di Turki (1280 H).
Pada awal
pertumbuhannya kaligrafi itu tumbuh dan beragam bersifat kursif (lentur dan
ornamental) dan sering pula dipadu dengan ornament floral. Model kaligrafi
kursif yang tumbuh pada masa itu Tsulus, Naskhi, Muhaqqaq, Riqa’, Raihani dan
Tauqi’. Keenam gaya inilah yang dikenal dengan al-Aqlam as-Sittah, atau Sihs
Qalam (Persia), atau The Six Hands Styles (Inggris) . Keenam gaya kaligrafi ini
mengalami seleksi alam. Di antara jenis gaya kaligrafi tersebut mulai
beransur-ansur hilang.
Gaya Riq’ah dan
Tauqi’ sudah mulai beransur surut dari peredaran, karena luruh dan gayanya
berkarakter mirip Tsulus, sementara jenis khath yang lain tetap eksis dan
berkembang semakin sempurna. Perkembangan ini mencapai titik kulminasi pada
masa pemerintahan Daulah Usmani (sekitar abad ke-16) dan dinasti Safawi di Iran
juga dalam periode yang sama.Pada periode tersebut di Turki juga berkembang
jenis gaya kaligrafi Syikatsah, Syikatsah-Amiz, Diwani, Diwani Jali, Riq’ah dan
Ijazah. Sementara Farisi (ta’liq) berkembang di Iran.
Dari seluruh model
tulisan kaligrafi ini, baik dari al-Aqlam as-Sittah maupun yang munculnya
belakangan namun yang masih sering dipakai sampai sekarang yakni gaya sulus,
naskhi, farisi, diwani, diwani jail, riq’ah, ijazah (raihani) serta model kufi.
Perkembangan model-model ini dapat juga dilihat dari perkembangan sejarah.
Ilham Khoiri mengelompokkan kepada dua yaitu perkembangan seni kaligrafi
sebelum al-Quran turun dan setelah al-Quran diturunkan.
Namun yang paling
pesat perkembangn model kaligrafi itu adalah setelah al-Quran diturunkan.
Karena pada masa ini banyak terdapat seniman, ahli kaligrafi dan peminat dan
pencinta kaligrafi yang berasal dari kabilah-kabilah. Hal ini dikarenakan
terdapatnya keindahan pada seni kaligrafi yang dapat mengokohkan peradaban yang
dibutuhkan.
Perkembangan seni
kaligrafi tersebut ada yang bersifat hiasan dan ada juga yang bersifat kaidah.
Kaligrafi yang pertama digunakan sebagai hiasan tersebut adalah khath khufi,
seperti yang terdapat pada arsitektur bangunan. Sedangkan yang bersifat kaidah
itu seperti Sulus, Riq’ah, dan Naskhi.
D.
Perkembangan
Kaligrafi Periode Lanjut
Selain di kawasan
negeri Islam bagian timur (al-Masyriq)
yang membentang di sebelah timur Libya termasuk Turki, dikenal juga kawasan
bagian barat dari negeri Islam (al-Maghrib) yang terdiri dari
seluruh negeri Arab sebelah barat Mesir, termasuk Andalusia (Spanyol Islam).
Kawasan ini memunculkan bentuk kaligrafi yang berbeda.
Gaya kaligrafi yang
berkembang dominan adalah Kufi Maghribi yang berbeda dengan gaya di Baghdad
(Irak). Sistem penulisan yang ditemukan oleh Ibnu Muqlah juga tidak sepenuhnya
diterima, sehingga gaya tulisan kursif yang ada bersifat konservatif.
Sementara bagi
kawasan Masyriq, setelah kehancuran Daulah Abbasiyah oleh tentara Mongol
dibawah Jengis Khan dan puteranya Hulagu Khan, perkembangan kaligrafi dapat
segera bangkit kembali tidak kurang dari setengah abad. Oleh Ghazan cucu Hulagu
Khan yang telah memeluk agama Islam, tradisi kesenian pun dibangun kembali.
Penggantinya yaitu
Uljaytu juga meneruskan usaha Ghazan, ia memberikan dorongan kepada kaum
terpelajar dan seniman untuk berkarya. Seni kaligrafi dan hiasan al-Qur’an pun
mencapai puncaknya. Dinasti ini memiliki beberapa kaligrafer yang dibimbing
Yaqut seperti Ahmad al-Suhrawardi yang menyalin al-Quran dalam gaya Muhaqqaq
tahun 1304, Mubarak Shah al-Qutb, Sayyid Haydar, Mubarak Shah al-Suyufi dan
lain-lain.
Dinasti Il-Khan yang
bertahan sampai akhir abad ke-14 digantikan oleh Dinasti Timuriyah yang
didirikan Timur Leng. Meskipun dikenal sebagai pembinasa besar, namun setelah
ia masuk Islam kaum terpelajar dan seniman mendapat perhatian yang istimewa. Ia
mempunyai perhatian besar terhadap kaligrafi dan memerintahkan penyalinan
al-Qur’an.
Hal ini dilanjutkan
oleh puteranya Shah Rukh. Diantara ahli kaligrafi pada masa ini adalah Muhammad
al-Tughra’I yang menyalin al-Qur’an bertarih 1408 daam gaya Muhaqqaq emas. Dan
putera Shah Rukh sendiri yang bernama Ibrahim Sulthan menjadi salah seorang
kaligrafer terkemuka.
Dinasti Timuriyah
mengalami kemunduran menjelang abad ke-15 dan segera digantikan oleh Dinasti
Safawiyah yang bertahan di Persia dan Irak sampai tahun 1736. pendirinya Shah
Ismail dan penggantinya Shah Tahmasp mendorong perumusan dan pengembangan gaya
kaligrafi baru yang disebut Ta’liq yang sekarang dikenal khat Farisi. Gaya baru
yang dikembangkan dari Ta’liq adalah Nasta’liq yang mendapat pengaruh dari
Naskhi. Tulisan Nasta’liq ahkirnya menggeser Naskhi dan menjadi tulisan yang
biasa digunakan untuk menyalin sastra Persia.
Di Kawasan India dan
Afganistan berkembang kaligrafi yang lebih bernuansa tradisional. Gaya Behari
muncul di India pada abad ke-14 yang bergaris horisontal tebal memanjang yang
kontras dengan garis vertikalnya yang ramping.
Sedangkan di kawasan
Cina memperlihatkan corak yang khas lagi, dipengaruhi tarikan kuas penulisan
huruf Cina yang lazim disebut gaya Shini. Gaya ini mendapat pengaruh dari
tulisan yang berkembang di India dan Afganistan. Tulisan Shini biasa ditorehkan
di keramik dan tembikar.
Dalam perkembangan
selanjutnya, wilayah Arab diperintah oeh Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Turki.
Perkembangan kaligrafi sejak masa dinasti ini hingga perkembangan terakhirnya
selalu terkait dengan dinasti Utsmaniyah Turki. Perkembangan kaligrafi pada
masa Utsmaniyah ini memperlihatkan gairah yang luar biasa. Kecintaan kaligrafi
tidak hanya pada kalangan terpelajar dan seniman tetapi juga beberapa sultan
bahkan dikenal juga sebagai kaligrafer.
Mereka tidak
segan-segan untuk merekrut ahli-ahli dari negeri musuh seperti Persia, maka
gaya Farisi pun dikembangkan oleh dinasti ini. Adapun kaligrafer yang dipandang
sebagai kaligrafer besar pada masa dinasti ini adalah Syaikh Hamdullah al-Amasi
yang melahirkan beberapa murid, salah satunya adalah Hafidz Usman.
Perkembangan
kaligrafi Turki sejak awal pemerintahan Utsmaniyah melahirkan sejumlah gaya
baru yang luar biasa indahnya, berpatokan dengan gaya kaligrafi yang
dikembangkan di Baghdad jauh sebelumnya. Yang paling penting adalah Syikastah, Syikastah-amiz, Diwani, dan Diwani Jali.
Syikastah (bentuk patah) adalah gaya yang dikembangkan dari Ta’liq an Nasta’liq
awal.
Gaya ini biasanya
dipakai untuk keperluan-keperluan praktis. Gaya Diwani pun pada mulanya adalah
penggayaan dari Ta’liq. Tulisan ini dikembangkan pada akhir abad ke-15 oleh
Ibrahim Munif, yang kemudian disempurnakan oleh Syaikh Hamdullah. Gaya ini
benar-benar kursif, dengan garis yang dominan melengkung dan bersusun-susun.
Diwani kemudian
dikembangkan lagi dan melahirkan gaya baru yang lebih monumental disebut Diwani
Jali, yang juga dikenal sebagai Humayuni (kerajaan). Gaya ini sepenuhnya
dikembangkan oleh Hafidz Usman dan para muridnya
Di Indonesia,
kaligrafi merupakan bentuk seni budaya Islam yang pertama kali ditemukan,
bahkan ia menandai masuknya Islam di Indonesia. Ungkapan rasa ini bukan tanpa
alasan karena berdasarkan hasil penelitian tentang data arkeologi kaligrafi
Islam yang dilakukan oleh Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, kaligrafi gaya Kufi
telah berkembang pada abad ke-11, datanya ditemukan pada batu nisan makam
Fatimah binti Maimun di Gresik (wafat 495 H/1082 M) dan beberapa makam lainnya
dari abad-abad ke-15.
Bahkan diakui pula
sejak kedatangannya ke Asia Tenggara dan Nusantara, disamping dipakai untuk
penulisan batu nisan pada makam-makam, huruf Arab tersebut (baca: kaligrafi) memang
juga banyak dipakai untuk tulisan-tulisan materi pelajaran, catatan pribadi,
undang-undang, naskah perjanjian resmi dalam bahasa setempat, dalam mata uang
logam, stempel, kepala surat, dan sebagainya. Huruf Arab yang dipakai dalam
bahasa setempat tersebut diistilahkan dengan huruf Arab Melayu, Arab Jawa atau
Arab Pegon.
Pada abad XVIII-XX,
kaligrafi beralih menjadi kegiatan kreasi seniman Indonesia yang diwujudkan
dalam aneka media seperti kayu, kertas, logam, kaca, dan media lain. Termasuk
juga untuk penulisan mushaf-mushaf al-quran tua dengan bahan kertas deluang
dan kertas murni yang diimpor.
Kebiasaan
menulis al-Qur’an telah banyak dirintis oleh banyak ulama besar di
pesantren-pesantren semenjak akhir abad XVI, meskipun tidak semua ulama atau
santri yang piawai menulis kalgrafi dengan indah dan benar. Amat sulit mencari
seorang khattat yang ditokohkan di penghujung abad XIX atau awal abad XX,
karena tidak ada guru kaligrafi yang mumpuni dan tersedianya buku-buku
pelajaran yang memuat kaidah penulisan kaligrafi.
Buku pelajaran
tentang kaligrafi pertama kali baru keluar sekitar tahun 1961 karangan Muhammad
Abdur Razaq Muhili berjudul ‘Tulisan Indah’ serta karangan Drs. Abdul Karim
Husein berjudul ‘Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab’ tahun
1971.
Pelopor angkatan
pesantren baru menunjukkan sosoknya lebih nyata dalam kitab-kiab atau buku-buku
agama hasil goresan tangan mereka yang banyak di tanah air. Para tokoh tersebut
antara lain; K.H. Abdur Razaq Muhili, H. Darami Yunus, H. Salim Bakary, H.M.
Salim Fachry dan K.H. Rofi’I Karim.
Angkatan yang
menyusul kemudian sampai angkatan generasi paling muda dapat disebutkan antara
lain Muhammad Sadzali (murid Abdur Razaq), K. Mahfudz dari Ponorogo, Faih
Rahmatullah, Rahmat Ali, Faiz Abdur Razaq dan Muhammad Wasi’ Abdur Razaq, H.
Yahya dan Rahmat Arifin dari Malang, D. Sirojuddin dari Kuningan, M. Nur Aufa
Shiddiq dari Kudus, Misbahul Munir dari Surabaya, Chumaidi Ilyas dari Bantul
dan lainnya. D. Sirajuddin AR selanjutnya aktif menulis buku-buku kaligrafi
danmengalihkan kreasinya pada lukisan kaligrafi.
Dalam perkembangan
selanjutnya, kaligrafi tidak hanya dikembangkan sebatas tulisan indah yang
berkaidah, tetapi juga mulai dikembangkan dalam konteks kesenirupaan atau visual art.
Dalam konteks ini kaligrafi menjadi jalan namun bukan pelarian bagi para
seniman lukis yang ragu untuk menggambar makhluk hidup. Dalam aspek
kesenirupaan, kaligrafi memiliki keunggulan pada faktor fisioplastisnya, pola
geometrisnya, serta lengkungan ritmisnya yang luwes sehingga mudah divariasikan
dan menginspirasi secara terus-menerus.
Kehadiran kaligrafi
yang bernuansa lukis mulai muncul pertama kali sekitar tahun 1979 dalam ruang
lingkup nasional pada pameran Lukisan Kaligrafi Nasional pertama bersamaan
dengan diselenggarakannya MTQ Nasional XI di Semarang, menyusul pameran pada
Muktamar pertama Media Massa Islam se-Dunia than 1980 di Balai Sidang Jakarta
dan Pameran pada MTQ Nasional XII di Banda Aceh tahun 1981, MTQ Nasional di
Yogyakarta tahun 1991, Pameran Kaligrafi Islam di Balai Budaya Jakarta dalam
rangka menyambut Tahun Baru Hijriyah 1405 (1984) dan pameran lainnya.
Para pelukis yang
mempelpori kaligrafi lukis adalah Prof. Ahmad Sadali (Bandung asal Garut),
Prof. AD. Pirous (Bandung, asal Aceh), Drs. H. Amri Yahya (Yogyakarta, asal
Palembang), dan H. Amang Rahman (Surabaya), dilanjutkan oleh angkatan muda
seperti Saiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana dan lain-lain. Mereka hadir
dengan membawa pembaharuan bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang
menjauhkannya dari kaedah-kaedah aslinya, atau menawarkan pola baru dalam tata
cara mendesain huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah dibakukan
Kehadiran seni
lukis kaligrafi tidak urung mendapat berbagai tanggapan dan reaksi, bahkan
reaksi itu seringkali keras dan menjurus pada pernyataan perang. Namun apapun
hasil dari reaksi tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap para
khattat sendiri membawa banyak hikmah, antara lain menimbulkan kesadaran akan
kelemahan para khattat selama ini, kurang wawasan teknik, kurang mengenal
ragam-ragam media dan terlalu lama terisolasi dari penampilan di muka khalayak.
Kekurangan mencolok para khattat, setelah melihat para pelukis mengolah karya
mereka adalah kelemahan tentang melihat bahasa rupa yang ternyata lebih atau
hanya dimiliki para pelukis.
Perkembangan lain
dari kaligrafi di Indonesia adalah dimasukkan seni ini menjadi salah satu
cabang yang dilombakan dalam even MTQ. Pada awalnya dipicu oleh sayembara
kaligrafi pada MTQ Nasional XII 1981 di Banda Aceh dan MTQ Nasional XIII di
Padang 1983.
Sayembara tersebut
pada akhirnya dipandang kurang memuaskan karena sistemnya adalah mengirimkan
hasil karya khat langsung kepada panitia MTQ, sedangkan penulisannya di tempat
masing-masing peserta. MTQ Nasional XIV di Pontianak meniadakan sayembara dan
MTQ tahun selanjutnya kaligrafi dilombakan di tempat MTQ..
Wallohua’
lmu Bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar